Senin, 02 Juni 2008

KISAH SEORANG PENJAJA OJEK KELILING

Kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi akhir Mei ini membuat sebagian besar rakyat merasa hidupnya semakin susah. Harga barang-barang semakin mahal, sementara dana bantuan langsung tunai yang dikucurkan pemerintah dinilai tidak menyelesaikan masalah. Hal inilah yang juga dialami oleh seorang penjual ojek yang bernama Jumadi. Dia merasa semakin hari semakin bertambah berat beban hidupnya.

Jumadi, seorang pemuda yang berumur sekitar 25 tahun setiap hari berkeliling dari satu sekolah dasar ke sekolah dasar lainnya menjajakan ojek. Makanan yang terbuat dari tepung terigu yang direbus ini sangat disukai oleh anak-anak sekolah dasar. Dengan bermodalkan sepeda angin, tanpa lelah ia menjajakan ojek pada anak-anak SD. Dengan telaten recehan demi recehan ia kumpulkan demi menafkahi seorang istri dan anaknya yang masih bayi. Memang bagi sebagian orang uang receh sudah tidak terlalu berarti, tetapi ditangan jumadi recehan-recehan itu berguna untuk menyambung hidup sehari kedepan. Setiap hari harapannya hanya satu yaitu dagangannya semuanya laku terjual dan ia dapat segera pulang menemui anak semata wayang dan istrinya dengan membawa sejumlah uang hasil jualannya. Sungguh harapan yang sangat sederhana.

Setiap hari jumadi mempersiapkan semua dagangannya pada sore hari. Sekitar jam 5.00 sore sehabis pulang berjualan, ia selalu mempersiapkan semua bahan baku untuk membuat ojek seperti tepung terigu, tepung pati, dan abon sebagai isian. Bermodalkan uang duapuluh ribu rupiah ia membeli semua bahan baku. Setelah adonan siap, ia pun mulai membuat satu per satu ojek dengan dibantu oleh istrinya. Sekitar pukul 07.00 malam jumadi selesai mempersiapkan barang dagangan dan menyimpannya di dalam sebuah kantong kresek. Kemudian ia beranjak untuk istirahat sambil sesekali bersendau gurau dengan anak dan istrinya.

Keesokan harinya, setelah sholat subuh, ia pun bergegas untuk menyiapkan ojek untuk dijual. Kompor minyak mulai dinyalakannnya untuk menjarang air dan satu per satu butiran ojek ditata di dalam sebuah dandang. Memang hampir semua penjual ojek keliling menggunakan kompor minyak untuk merebus ojeknya. Mereka tidak tersentuh oleh program konversi minyak tanah ke gas yang dicanangkan pemerintah melalui pembagian kompor gas gratis. Selain itu, mereka juga merasa takut menggunakan gas karena kompor itu harus selalu dalam keadaan menyala dan dibawa berkeliling selama menjajakan ojeknya. Jumadi pun berpendapat demikian: ”Jika saya memakai gas untuk merebus ojek berarti saya harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli gas, sedangkan keuntungan yang saya peroleh tidak mencukupi untuk membeli gas isi tiga kilogram”. Berarti jika jumadi menggunakan gas, cost yang ia keluarkan akan melebihi revenue yang didapatkan dan jika hal tersebut terjadi maka ia akan menderita kerugian. Karena alasan tersebut, dengan terpaksa jumadi harus menggunakan kompor minyak meskipun harga minyak tanah juga terus melambung.

Jumadi sebenarnya adalah teman SD penulis. Kehidupan yang keras memaksa Jumadi berhenti dari pendidikannya. Selain karena otaknya sudah tidak mampu untuk diajak berfikir dia juga tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan ke jenjang SMP. Setelah lulus SD, ia kemudian bekerja di sebuah pabrik keripik singkong sebagai pengupas singkong. Setelah sekitar dua tahun bekerja, ia merasa bosan karena pendapatannya ditentukan oleh banyaknya singkong yang dikupas. Semakin banyak singkong yang dikupas, semakin banyak pula pendapatan yang ia peroleh. Ia merasa dikejar oleh waktu dan tidak bebas dalam bekerja.Akhirnya ia memilih untuk berhenti bekerja dari pekerjaan itu karena tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Jumadi pun memutuskan untuk mencari pekerjaan lainnya yaitu dengan berjualan karena dia merasa dengan berjualan dia merasa bebas dan tidak diatur oleh orang lain. Karena ia hanya memiliki modal kecil dan rumahnya dekat dengan sekolah dasar, dia memutuskan untuk berjualan ojek.

Hari-haripun dilaluinya dengan berdagang ojek dari satu sekolah ke sekolah lainnya dengan memakai sepeda anginnya.Uang hasil penjualan sebagian ditabungnya. Semakin hari penjualan ojeknya omsetnya semakin bertambah. Setelah berjualan setahun dia menikah dengan gadis pilihannya. Merekapun menjalani hidup masih dengan berjualan ojek. Setelah sekitar setahun berlalu mereka mempunyai seorang anak. Dengan beban hidup yang makin menghimpit, pendapatannya yang sangat pas-pasan digunakan untuk mereka bertiga.

Sebetulnya kehidupan mereka secara materi dapat dikatakan dibawah kelayakan. Karena untuk dapat makan hari ini saja emereka harus membanting tulang bekerja seharian dari pagi sampai sore dan rutinitas itu berjalan berulang-ulang dari hari ke hari.Kita dapat membayangkan bagaimana seandainya jika si Jumadi suatu hari sakit. Tentu dia butuh berobat dan siapa yang menanggung makan pada hari itu? Apakah dengan berhutang masalahnya dapat teratasi?.

Itulah gambaran sekelumit rakyat Indonesia yang hanya baru bisa memikirkan masalah perut dan diluar sana ternyata masih banyak jumadi-jumadi lainnya yang ternyata malah lebih menderita kehidupannya. Jadi kucuran dana BLT dari pemerintah tidak mampu untuk menyelesaikan pokok permasalahan para rakyat miskin karena rakyat sebetulnya butuh kail bukan ikan. Mereka mendapatkan dana BLT hanya selama 7 bulan dengan jumlah yang tidak seberapa itu jika disbanding dengan honor wakil rakyat seolah olah dapat mencukupi kenaikan harga-harga saat ini. Tetapi bagaimana nasib mereka setelah dana BLT dihentikan? Apakah mereka akan kembali terpuruk dalam kemiskinan?

Karena Pemerintah memberikan dana BLT yang kurang begitu mendidik dan tidak memenuhi sasaran, banyak rakyat yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut. Seandainya pemerintah membuka lapangan pekerjaan dengan program padat karya misalnya, rakyat mungkin malah menerimannya karena sebenarnya yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini adalah pekerjaan yang tetap dan menjanjikan untuk hari depan sehingga kemiskinan rakyat Indonesia dapat ditanggulangi dan pendidikan anak-anak mereka pun akan terjamin. Dengan pendidikan yang maju, rakyat Indonesia akan menjadi pandai dan dapat hidup sejahtera.

Memang sulitnya kehidupan yang terjadi di Indonesia membuat sebagian besar orang merasa bahwa pemerintah tidak becus dalam mengatur negara. Pemerintah sepertinya hanya memikirkan diri sendiri tanpa melihat rakyat bawah yang sangat merana dan terhimpit oleh masalah ekonomi. Seharusnya sebagai seorang pemerintah yang mengerti seluk beluk kenegaraan, masalah – masalah kenaikan harga yang tidak dibarengi dengan kenaikan daya beli seperti sekarang ini tidak terjadi sehingga rakyat kecil seperti Jumadi dan kawan-kawannya dapat hidup dengan makmur dan sejahtera. Harapan penulis semoga di masa yang akan datang kesejahteraan rakyat Indonesia benar-benar terwujud. Tidak ada lagi penderitaan dan kemiskinan di negeri ini.

Tidak ada komentar: